animasi-bergerak-selamat-datang-0112

Minggu, 03 April 2016

Telepon

Waktu sudah menunjukkan 12 malam. Sebentar lagi jam akan berdentang beberapa kali. Ina sedang mencoba menghubungi Hita, teman akrabnya. Kamar mereka letaknya berjauhan. Jadi, daripada Ina menuju ke kamar Hita, lebih baik ia menelepon saja bukan? Tetapi tentu saja Hita sedang tertidur lelap di kamarnya. Begitu pikir Ina. Ah tak biasanya Hita sudah tertidur jam segini. Dia kan suka begadang. Ada apa dengan dia ya? Ah sudahlah lebih baik aku tidur gumam Ina dalam hati.
Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Ya, mereka tinggal di asrama early, asrama khusus perempuan. Sebenarnya satu kamar diisi 4 orang. Tapi, sayang Ina tidak sekamar dengan Hita. Ina di kamar nomor 103 sedangkan Hita di kamar nomor 111, di lantai atas. Di asrama ini ada kantin, kamar di 3 lantai, ruang kelas, toilet, perpustakaan, gudang, koridor, kantor guru, dan masih banyak lagi.
Keesokan harinya, Hita dikabarkan hilang dari kamarnya. Teman sekamarnya mengatakan bahwa Hita ke luar kamar untuk pergi ke toilet, setelah itu dia tidak balik-balik lagi. Hita biasanya suka begadang dengan membaca buku pelajaran lama-lama. Tetapi kali ini dia tidak kembali lagi ke kamarnya. Ina yang ikut mendengar kabar itu langsung khawatir.
“Ya ampun kenapa Hita bisa hilang secara tiba-tiba seperti itu? Pantas saja aku telepon kemarin malam tidak diangkat-angkat. Aduh, kamu ke mana Hita?” ucap Ina dengan nada gemetar. Hita sudah dicari ke mana-mana, bahkan di semua toilet sekali pun. Tetapi hasilnya nihil. Pencarian terakhir jatuh di gudang. Sesampainya di gudang mereka terkejut sekali karena Hita ditemukan sudah tergeletak tidak berdaya di lantai dengan kondisi yang sulit dijelaskan.
Di sebelah Hita juga ada recorder yang tidak begitu diperhatikan. Ina lebih terkejut lagi sampai pingsan. Orang-orang yang di sana membawa Hita ke rumah sakit dan Ina ke UKS. Ternyata Hita menerima telepon dari orang yang tidak dikenal yang mengajaknya bertemu di gudang. Hita yang bukan penakut tidak curiga sama sekali dan langsung menuju gudang. Sesampainya di gudang tidak ada siapa-siapa di sana kecuali Kim, anak yang pendiam di sekolah. Dulu dia ingin bersahabat dengan Ina tetapi Hita melarangnya.
“Hita, mengapa aku tidak boleh bersahabat dengan Ina? Sekadar teman pun tidak boleh?! Aku kan pendiam, jadi dengan berteman dengan Ina aku bisa menjadi anak yang periang dan supel. Lalu, apa alasannya kau melarangku berteman dengan Ina?” tanya Kim dingin.
“Oh, bukan masalah apa-apa. Cuman aku hanya tidak mau kau merebut Ina dariku. Kalau kau mau carilah anak yang lebih baik dari Ina. Yang lebih periang dan supel.” jawab Hita enteng.
Kim mulai naik pitam mendengar jawaban Hita. Tetapi, dia berusaha menenangkan diri.
“Kau egois Hita! Memang banyak anak yang lebih baik dari Ina tetapi kami sudah dekat dari kelas 1 SMP dan kau baru dekat dengannya menjelang ujian kelulusan sekolah nanti. Ina menjauh dariku karena sebuah masalah. Akhirnya dia meminta maaf padaku dan kami berbaikan kembali. Tetapi setelah ada kau, Ina jadi lebih dekat denganmu. Kau hanyalah anak pindahan Hita!” bentak Kim.
Hita agak terkejut tetapi dia berusaha menjawab, “Oh, begitu rupanya. Bukan apa-apa tetapi kau itu tidak cocok dengan Ina. Apa kelebihanmu? Aku hebat dalam mata pelajaran apapun dan kau selalu dijauhi teman-teman karena pendiam. Apa lagi yang mau kau banggakan padaku hah?!” jawab Hita sombong.
“Baik, pembicaraan sudah terekam dengan recorder ini. Jika Ina mendengarnya pasti dia akan menjauhimu!” gertak Kim dengan senyum sinis.
“Apa?! Tidak mungkin! Berikan recorder itu padaku. Kau tidak boleh memberitahu itu pada Ina! Dia akan marah padaku!” teriak Hita dengan nada melengking.
“Salahmu sendiri! Kau bodoh dalam satu hal Hita. Kau mudah terayu bujukan! Siapa yang mengangkat telepon dari orang yang tidak dikenal? Siapa yang mengiyakan ketika diajak bertemu disini? Siapa yang..” Kim tak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Cukup! Cukup sudah kau menghinaku Kim Park! Lebih baik kau tidak ada di dunia ini!” potong Hita kesal.
“Kau yang harusnya musnah! Perebut sahabat orang!”
Kim mengambil ancang-ancang untuk menyerang Hita. Dia mendorong Hita sekuat mungkin. Hita terpental dan kepalanya membentur dinding dengan keras. Tengkorak bagian tengah Hita pecah! Dan akhirnya Hita tidak sadarkan diri sampai hari ini. Hita dimakamkan di Seoul, Korea. Ina yang sudah mendengar rekaman dari recorder sangat terkejut setengah mati. Orang di sekitar yang ikut mendengarnya pun juga ikut terkejut. Ina tidak menyangka Hita rupanya sejahat itu pada sahabatnya yang dulu. Ah, Ina ingin cepat-cepat menemui Kim untuk meminta penjelasan. Ia tidak marah pada Kim hanya kecewa kenapa tega seperti itu? Itu sama saja seperti mengkhianati sahabat. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Besoknya, Ina melihat Kim sedang duduk sendirian di taman karena ia memang tidak punya teman. Ina lalu menghampiri Kim. Ina pun duduk di sebelah Kim. Saat itu suasana sekolah memang sudah sepi. “Hei, Kim!” sapa Ina membuyarkan lamunan Kim. Kim seperti belum tersadar.
“Kim, kau baik-baik saja?” tanya Ina cemas.
Kim kaget sekali ditegur secara tiba-tiba. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata yang mengagetkan itu adalah Ina sendiri.
“Oh, ya, halo juga Ina! Sedang apa kau di sini?” tanya Kim terbata-bata.
“Tidak, hanya ingin duduk saja di sini denganmu. Kau sendiri kenapa melamun seperti itu? Kau masih memikirkan kejadian kemarin?” Ina balik bertanya.
“Iya, kau marah padaku ya? Waktu itu aku memang sedang terbawa emosi, jadi aku mendorong Hita keras sekali saat itu. Kau membenciku?” tanya Kim agak takut.
“Awalnya iya tapi tak sampai membenci. Tetapi, setelah mendengar rekaman itu aku jadi tahu ternyata Hita memang egois. Kau kan memang sahabatku dulu.” jawab Ita pelan.
Kim menunduk. Memang benar apa yang dikatakan Ina. Tetapi, dia telah mencelakai sahabat baru Ina. Ah, Kim jadi merasa bersalah. “Bukankah itu berarti sama saja dengan mengkhianati teman lama? Aku kecewa padamu Kim.” lanjut Ina tiba-tiba. Kim terkejut atas kata-kata Ina. Dia makin menunduk. Matanya yang sayu memandang tanah yang bertaburan. “Aku kecewa padamu Kim.” Kata-kata itu terus mengiang-ngiang di telinga Kim. Kata-kata itu juga selalu mengganggu pikirannya.
Seminggu sudah kejadian itu berlalu. Ina tidak dapat mengunjungi makam Hita di Seoul. Dia juga mendiamkan Kim selama seminggu. Kim juga acuh tak acuh pada Ina. Kini, persahabatan mereka kembali retak. Tak ada yang tahu kapan mereka berbaikan kembali. Malamnya, Kim tak bisa tidur. Pikiran itu terus mengganggunya. Tiba-tiba, bunyi ponselnya berdering. Kim langsung terlonjak dari tempat tidurnya. Saat melihat nomor tak dikenal, Kim agak ragu untuk mengangkatnya. Dia langsung kembali ke tempat tidurnya dan menutupi dirinya dengan selimut dan mengangkat telepon itu. Dia berbicara dengan suara pelan. “Annyeonhaseyo?” sapanya pada orang tak dikenal itu.
“Sss..sss..ss..tolong aku Kim! Aw, kepalaku sangat sakit! P…p..per..cayalah, besok akan ada yang mati.” suara tersebut tampak menderita dan meminta tolong dan mengancam.
Kim terkejut. Rasanya ia mengenal suara itu. Itu suara Hita! Bagaimana Hita bisa meneleponnya malam-malam begini? Langsung dimatikannya telepon itu dan cepat-cepat tidur dengan ketakutan. Kim langsung tertidur dengan ketakutan. Besoknya di sekolah. Kim sempat berpapasan dengan Ina. Kim cepat-cepat menarik tangan Ina ke tempat yang sepi. Ina yang langsung ditarik begitu saja langsung kaget. Ia langsung melepaskan tangannya dari genggaman Kim.
“Kim, ada apa sih? Tiba-tiba narik tangan orang dan bawa ke tempat sepi?” tanya Ina agak jengkel.
“Ih, Ina. To the point ya aku mau ngomong sama kamu. Kemarin aku dapat telepon dari orang yang tidak dikenal. Terus, saat aku angkat telepon itu, ada suara Hita! Percaya nggak? Kalau nggak percaya ya sudah. Ini benar kok.” curhat Kim tanpa berbasa-basi.
“Masa sih? Coba saja nanti kita buktikan, aku dapat telepon itu atau nggak!?” sahut Ina.
“Oke!” timpal Kim.
Krinngg!! Bel sekolah berbunyi. Semua murid masuk ke kelas masing-masing. Ina dan Kim kebetulan satu kelas, XII-I. Pelajaran pertama adalah olahraga. Hari ini, Ms. Rae akan mengajarkan lompat jauh. Semua harus menunggu giliran. Sambil menunggu ada yang main basket, lompat tinggi, bermain bulu tangkis, senam, voli, meja tenis, lari-lari, bahkan ada yang bermain catur.
“So-Yeong! Latihan terlebih dahulu ya!” panggil Ms. Rae lantang tetapi lembut.
So-Yeong segera maju ke depan. Dia mengambil ancang-ancang untuk lompat jauh. Ia berlari lalu mendarat di pasir yang empuk. Tapi, tiba-tiba.. BRUK! So-Yeong jatuh ke pasir yang empuk yang di bawahnya terdapat batuan yang sangat keras. Bukan pantatnya yang mendarat, tetapi kepalanya. Pasir berantakan. Darah mengucur dari kepalanya.
“So-Yeong! Kau baik-baik saja?” seru Ms. Rae panik. So-Yeong diam tak bergeming. Teman-temannya segera mengerumuninya. Ada yang tidak mau melihatnya karena kondisinya yang mengenaskan. Ambulans segera dipanggil untuk membawa So-Yeong ke rumah sakit. Terlambat! So- Yeong tewas.
Berita itu langsung menggemparkan semua murid asrama early. Semua tampak membicarakan So-Yeong. Terlihat garis kuning melintas di sekitar tempat kematian So-Yeong. Ina dan Kim agak terkejut. Tampaknya ini bukan suatu kebetulan. Sebab baru kemarin Kim dapat telepon dari Hita sekarang satu orang tewas. Kim teringat kata-kata Hita di teleponnya bahwa satu orang akan mati hari ini. Ternyata So-Yeong. Kim berharap tidak ada korban lagi nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar