animasi-bergerak-selamat-datang-0112

Minggu, 03 April 2016


I Love You Editor

“Ku dengar kau novelis?” tanya Jung24.
Sebuah pesan yang membuat kaget itu buru-buru Hyeri balas.
“Lantas?” jawab Hyeye12. Hyeri membalas sesingkat mungkin dengan wajah was-was. orang yang mengiriminya email itu lumayan lama membalas.
“Novel cinta untuk remaja kan?” tanya Jung24.
“Iya.” Hyeye12.
“Dari mana kau dapat sumber segala hal tektek bengek soal remaja, dan kisah cinta mereka?” tanya Jung24 lagi.
Hyeri terkekeh. Ia menggaruk kepalanya. “Itu hanya fiksi, hanya khayalan yang aku khayalkan.” IBU~! Benar tidak ya aku menjawab seperti itu? gumamnya sendiri.
“Bukankah.. terlalu menghakimi? Setelah membacanya otakku berputar 180 derajat. Berpikir ulang apa itu cinta di masa remaja.” ucap Jung24.
“Apa benar begitu? Ku kira novelku biasa-biasa saja dan tak terlalu terkenal.” balas Hyeye12.
“Memang tak begitu terkenal. Aku juga menemukannya di sudut pojok toko buku. Apa kau masih remaja?” orang sialan! Blak blak an sekali sih! “Tentu.” jawab Hyeye12.
“Lalu menurutmu, apa benar remaja itu selalu memiliki cinta pada pandangan pertama? Atau.. apa benar remaja itu selalu plin plan?”
“Menurutku begitu.”
“Jangan ragu dong! Kau harus yakin. Kau juga remaja kan?! Menurut sudut pandangmu sebagai remaja bagaimana? Apa ada orang yang saling jatuh cinta hanya karena saling bertukar pesan. Tanpa melihat wajahnya sama sekali?”
“Tentu saja bisa! Jika sudah suka kan apa pun bisa terjadi.”
“Lalu kenapa mereka bisa saling suka? Apa hanya karena pesan yang mereka kirim saling menarik? Tapi di novelmu saat keduannya bertemu. Sang pria adalah orang lumpuh dan kaya raya. Berparas tampan pula. Si wanita menerima semua kekurangan si pria. Jika begitu ceritanya, sang pria sama sekali tak punya kekurangan! Ia kaya dan hanya kakinya yang lumpuh kan? Ia punya banyak uang untuk membuat kaki palsu nona.”
“APA! KATANYA! KENAPA ORANG INI RESEK! Jika begini ceritanya dia yang mengahakimi diriku kan? Apa sih? Apa dia haters!” keluh Hyeri yang sibuk mencari referensi.
“Tapi kan wanita itu sudah jatuh cinta pada si pria. Sebelum tahu si pria itu kaya!” balas Hyeye12.
“Ya.. Karena si pria tampan. Bila kau putar ceritanya, dan mengganti wujud si pria dengan pria normal tanpa cacat. Tapi, berwajah standar dan hidup apa adanya. Hanya anak buruh atau kuli. Apa si wanita akan menerimanya?” tanya Jung24. “AKH!” Hyeri mengerang keras dengan wajah merah padam tak kuasa menahan emosi salah satu pembacanya ini. Dengan wajah murung Hyeri membalas email orang yang mulutnya berbisa itu.
“Ku bilang itu hanya fiksi kan? Tak ada dalam kehidupan nyata.” jawab Hyeye12.
“Tapi karena novelmu aku kebingungan. Aku berceloteh sendiri apa ada yang seperti itu?” lanjut Jung24.
“Buktikan sendiri jenderal!” ketus Hyeye12.
“Kau marah ya? Jangan marah pada pembaca dong!” tukas Jung24.
“Kau pembaca atau haters aku tak peduli.” kesal Hyeye12.
“Dasar galak. Padahal tokoh novelmu sangat lemah lembut dan penuh perhatian. Ternyata penulisnya seperti kau! Aku tidak akan membeli novel yang pengarangnya kau lagi ah!” cerca Jung24.
“Ukh!” balas Hyeye12.
“Jawabanmu hanya ukh? Kok singkat? Kau marah sungguhan ya? Apa kau akan marah seperti itu pada editor barumu?” heran Jung24. “Ha?” Hyeri terkekeh. Matanya hampir keluar, “E.. editor katanya?” Hyeri tertawa histeris.
“Maksudmu apa? Kau mau menipuku? Aku sudah punya editor!” sangkal Hyeye12.
“Remaja gagal! Editormu sudah minggat beberapa hari lalu. Bukan begitu? Aku editor barumu! Berhentilah membuat novel! Buatlah buku tentang cinta sejati kakek dan nenek.” balas Jung24.
“TIDAK!!!!” jerit Hyeri.
Itulah hari dimana Hyeri berpikir bahwa ia memang tak cocok untuk menjadi seorang penulis. Kata-kata singkat dari sang editor barunya itu selalu membuat Hyeri tak berkutik. Diam dalam diam dan hanya bisa merenungkannya hingga sekarang saat mereka berdua sudah berpartner selama 2 tahun. Rasanya tak pernah Hyeri membalas kata-kata editornya yang menurut Hyeri melankolis gagal tetapi santai.
“Bagaimana sih, novelmu kok tidak berkembang ya.” tutur Junghan sang editor dengan wajah datar, namun kata katanya menyambar hati Hyeri.
“Kapan kau berhenti?” tanya Junghan. Tatapan tajamnya menghunus jantung hingga usus dan urat urat Hyeri.
“Eh angh a aku.. aku.” Hyeri kelabakan. Ia menepuk tegas meja, “aku tidak akan berhenti jadi novelis!” ralat Hyeri serius. Wajahnya merah.
“Heh bodoh! bukan itu. Kapan kau berhenti mengaduk-ngaduk teh yang sudah hampir basi itu!” Junghan menunjuk teh milik Hyeri yang sedari tadi ia aduk tanpa sadar.
“Ah!” pekik Hyeri kaget.
“Hal-hal kecil seperti itu saja kau tidak peka, apalagi perasaan pembaca?” rutuk Junghan. Hyeri tersenyum malu disertai lirikan sang nenek lampir.
“Sudah dua tahun ini juga kau tak membantuku. Malah terus memojokkanku!” protes Hyeri kesal. Junghan angkat bahu.
“Yah.. pokoknya kalau kau bagus, ya aku puji. Tapi, bila tidak bagus. Apa yang mau dibanggakan?” ukh! Menyebalkan! Si Junghan jung jung ini!
“Aku ada urusan lebih penting. Bila hanya ingin mengejekku di email saja!” Hyeri hendak bangkit dari kursi cafe dan meraih tasnya. SRET.. Junghan menahan tangan Hyeri lalu mendongak. Mereka saling tatap cukup lama. Hyeri menatap kedua mata Junghan yang tegas. Berbulu mata lentik. Serta bola matanya yang membola.
“Jangan..” pinta Junghan pelan.
Hyeri terkesiap. Wajahnya memerah. “A.. apa?”
“Jangan email aku!” tandas Junghan APA?! APA? BICARA APA KAU JUNG JUNG! Hati Hyeri kini retak.
“Aku sedang banyak kerjaan. Jika kau sudah punya ide, baru datang padaku ya.” Junghan membenarkan mantelnya. Ia bangkit dari kursi.
“Yah aku duluan. Kau tahu kan.. editor selalu sibuk.” Junghan melambai pendek dan pergi mendahului Hyeri yang sudah ingin menggigitnya hingga habis.
“Ukh!.. Argh!!!” jerit Hyeri kesal ia menginjak nginjak tanah dengan membabi buta seperti cacingan. “dasar! Es batu! Bukan dasar!.. dasar.. eukh! Pokoknya dasar!” teriak Hyeri kesal.
“Aku baru 18 tahun! Dia 26 tahun. Yang benar saja! tentu saja pemikiran kami berbeda kan?”
“Sial punya editor begitu!”
Hyeri yang duduk di balkon rumahnya di malam hari, menatap foto saat ia diwawancara di acara peluncuran buku barunya. Ia memeluk bucket bunga yang indah. Junghan merangkulnya di sebelah kanan. Mereka berdua tersenyum. Meski, sebenarnya saat acara berfoto itu Hyeri tak sengaja menginjak kaki Junghan. “Tapi kenapa aku tak meminta editor yang lain ya. Kenapa aku ingin terus pria ini yang jadi editorku?” Hyeri menutup wajahnya dengan bantal sofa bundarnya, “akh.. yang benar saja.”
Besok harinya Hyeri bangun lebih pagi. Ia kirim pesan singkat lewat ponsel canggihnya kepada Junghan. Hyeri memakai mantel moccanya. Rambut lebat sebahunya ia biarkan terurai. Ia pun pergi ke luar rumah dengan langkah cepat di tengah cuaca yang cukup dingin. Drrtt, Drrtt, sadar ponselnya berbunyi Junghan yang sibuk mengevaluasi pun menaruh buku bersampul pastel dengan nuansa gadis di atas meja. Sebuah novel yang ditulis oleh Hyeri dengan judul, “When Love Moving You To Next Day.”
Junghan membuka pesan itu dan mendengus pelan. “Hei! orang sibuk! Temui kau di perpustakaan biasa. Aku ada ide!” pesan menggerutu Hyeri membuat Junghan tersenyum masam. Ia pun bersandar ke kursinya lagi. Napas yang ia hembuskan terdengar lelah. Junghan melirik ke arah passport yang ia simpan tak jauh dari novel milik Hyeri. “Lusa ya?” gumamnya seraya meraih passport dan tiket pesawat dengan tujuan Inggris.
Hyeri terus mengelilingi perpustakaan. Rak demi rak ia jajahi tanpa kenal lelah. Meski, beberapa kali kacamatanya melorot karena ia mengantuk hingga tertunduk. “Ish!” desah Hyeri kesal seraya melirik jam tangannya. Wajahnya murung hingga rasanya mirip dengan kertas lusuh yang sudah di remas remas. Hampir dua jam Ia menunggu di perpustakaan. Junghan belum juga datang. Hyeri menopang dagunya dan duduk di salah satu bangku dekat rak buku paling pojok.
Salju di luar perlahan mulai turun. Hyeri kini tertidur. Kepalanya menempel di atas meja perpustakaan. Junghan yang sudah datang hanya duduk tepat di hadapan Hyeri tanpa membangunkannya. Ia terdiam seraya membaca buku catatan milik Hyeri. Coretan hariannya, torehan pena sepenuh hati milik Hyeri. Mata Junghan membaca dengan seksama, menyimak baik-baik kata per kata catatan pendek yang penuh dengan gambar hati dan tanda tanya di sekitar tulisannya itu.
“Oppa, ingin aku memanggilnya dengan sebutan itu. Tapi, apa daya? selama ini hanya hei dan hei kau! Bahkan hanya lirikan mata yang ku berikan padanya untuk berkomunikasi. Aku sadar umurnya memang jauh di atasku. Dia dewasa. Dan aku? tapi kenapa apa hanya aku yang merasakannya? Aku merasa dia mengerti aku. Meski dengan sifat kasarnya dan olok-oloknya. Tapi, selama beberapa tahun terakhir ini.. aku jadi bisa menulis.. menerbitkan buku, laris pula. Oppa.. bagaimana bila aku tiba-tiba memanggilnya begitu? Bagaimana reaksinya? Jika ia tertawa wajahku pasti memerah, sifat dinginnya membuatku yang lembek menjadi lebih kokoh. Bukan itu saja, perhatiannya yang aku harapkan berbeda dari yang lain. Mungkin hanya aku yang berharap. Tapi, aku merasakannya..”
“Kapan ku bisa panggil dia dengan akrab?” Junghan terdiam seraya menatap buku catatan itu lekat-lekat. Lalu menatap Hyeri dengan kaget. Sadar Hyeri sudah bangun. Wajahnya merah padam. Serta kaki gemetaran melihat Junghan membaca buku catatannya. “Bu.. buku..” gumam Hyeri gagap. Junghan mengedipkan matanya dengan cepat. Ia pun menaruh buku itu lalu mendeham dengan canggung. Buru-buru Hyeri menyabet buku catatannya dan memeluknya erat-erat. Mereka berdua terdiam.
“Itu! Sebenarnya.. itu!” Hyeri hendak mengatakan sesuatu namun..
“Naskah yang bagus.” potong Junghan. Hyeri mendongkak melihat wajah Junghan yang tersenyum tipis namun sangat manis. Hyeri membelalakan matanya. Matanya berbinar melihat Junghan yang tersenyum untuk pertama kalinya, biasanya ia hanya tersenyum masam. Hyeri mengerjapkan matanya. Rasa senang melihat senyum Junghan ia rasakan namun kandas oleh rasa sakit yang ia rasakan juga.
“Nas.. naskah?” tanya Hyeri.
“Iya tentu, itu naskah novel kan? Bagus ide cerita yang menarik. Lanjutkan.”
“Tapi…”
“Aku ingin tahu lanjutannya.” pinta Junghan seraya bangkit dari kursinya.
“Oh.. aku sudah datang kan ya? Jika hanya itu, aku permisi. Kau tahu kan? editor selalu sibuk.” Junghan pun bangkit. Hendak berjalan pergi.
Tapi, ia berbalik, “Jangan berhenti menjadi Penulis.” tutur Junghan yang kemudian benar-benar pergi meninggalkan perpustakaan.
Hyeri memeluk erat bukunya. Ia menunduk dan terus menunduk. Dengan berat hati ia tersenyum meski hanya senyum semu, “Kenapa ini? kenapa aku sedih mendengarnya begitu?”
“Aku suka padanya?”

Di sinilah Hyeri. Masih terbaring malas di kamar dengan wajah lesu. Ia terkena flu akibat salju yang tak kunjung berhenti. Drtt Drtt.. Hyeri meraih ponselnya. Hyeri mengernyit sekilas kemudian mengangkat telepon dari salah satu editor di kantor penerbit bukunya itu.
“Halo?” sapa Hyeri agak serak diikuti dengan batuk.
“Omo! Kau sakit? Bagaimana ini?”
“Memang ada apa? Kenapa telepon? tumben eonni.”
“Ikh! kok begitu sih. Kau masih di rumah?” masih? memang harusnya dimana? Hawai? Uganda?
“Iya, ada apa?”
“Kau santai sekali. Aneh ya kalian berdua..”
“Kalian berdua?” tanya Hyeri bingung.
“Masih pura-pura tak mengerti, ya sudah.. tadinya aku ingin pergi bersamamu ke bandara. Sekaligus untuk salam perpisahan pada Junghan. Aku kan boleh ikut bangga bahwa temanku melanjutkan sekolah di luar negeri.” jelas editor wanita itu dengan sangat lantang. Hyeri terdiam sejenak.
“Apa? apa maksudnya?”
“Iya Junghan kan pergi sekarang, pesawat jam 4 nanti. Kau tak tahu?!”
“Jam 4?!” Hyeri bangkit melihat jam nya yang sudah menunjukkan pukul 14.48 sore.
“Dia ada di mana sekarang?!”
“Kok tanya aku?”
“Cepat eonni.. dimana?”
“Tak tahu oh, mungkin di apartemennya.”
BRAK!! Hyeri membuka pintu rumahnya. Dengan tubuh sakit serta lemas ia berlari ke luar di tengah-tengah salju yang turun. Hyeri berlari sekuat tenaga. Napasnya memburu di udara. Wajahnya semakin pucat. Hidungnya memerah. Matanya berkaca-kaca menahan rasa sakit. Junghan yang baru saja ke luar apartemennya masuk ke dalam mobil. Hyeri yang melihatnya berlari lebih cepat. Namun, telat. Junghan sudah melaju lebih dulu.
“TAXI!!” teriak Hyeri pada salah satu taksi yang lewat. Buru-buru ia masuk.
“Tolong ikuti mobil sedan di depan itu.”
“Baik.”
Junghan melaju cukup cepat. Dengan segala macam perlengkapannya ia sudah siap meninggalkan korea selatan negeri tercintanya. Ia menyeret kopernya dengan malas ke dalam bandara. Hyeri turun dari taksi. Memberikan uang dengan cepat lalu berlari ke dalam bandara. Dengan terengah-engah ia mencari ke sana ke mari. Sosok pria jangkung yang pucat. Pria berambut hitam legam dengan bahu lebar. Namun sosok Junghan tak kunjung ia temukan. Hyeri menoleh ke kanan dan kiri. Matanya berhenti. Bibirnya terbuka menghembuskan napas lega. Dilihatnya seorang pria yang ia cari-cari berada di beberapa meter di hadapannya. Hyeri berjalan maju mendekati Junghan di tengah-tengah bandara. Ia berjalan maju seraya menghapus air mata di matanya. Mereka berdua saling tatap dengan canggung.
“Kenapa tak memberitahuku?” lirih Hyeri seraya menunduk dalam diam. Kalau kau pergi begitu saja, aku sulit cari editor baru! Naskahku juga banyak yang masih ada padamu! bagaimana kau ini. Baru dua tahun sudah ganti editor lagi saja. Memangnya kau sudah kasih apa padaku?”
“Memangnya dengan kau pergi lanjut sekolah kau akan lebih baik dari sebelumnya? kau bisa ajari aku lebih? Kau bisa jadi editor yang baik hati?”
“Memangnya kau bisa jadi editorku yang lebih manis?”
“Bisa akrab denganku?!”
“Dengan kau pergi.. aku bisa jadi apa?”
“Hyeri..” panggil Junghan pelan. Hyeri tak mendongakkan kepalanya. Ia terus menunduk. Bahunya naik turun. Air matanya berlinang membasahi pipinya.
“Hye–” Hyeri memeluk erat
Junghan napasnya memburu bagai pasir dikeruk. Junghan terdiam. Ia memeluk balik tubuh Hyeri yang dingin serta gemetar. Keduanya terdiam di tengah keramaian. Badai salju pun mulai reda. “Kembali dengan cepat. Tolong kembali dan jadi editorku lagi nanti.” rengek Hyeri yang terisak-isak Junghan melihat ke atas menahan air mata yang terkumpul di sudut matanya. Ia pun tersenyum. “Ah.. kapan kau dewasa?”
“Jangan cepat cepat dewasa.. aku suka remaja gagal seperti ini.” Junghan tersenyum lembut.
Hyeri memeluk Junghan lebih erat. “Oppa…”

4 tahun kemudian..
Tuhan menciptakan mahluknya selalu berpasangan “pasti!” bukan hanya pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Benda mati pun terkadang membutuhkan benda lainnya agar sempurna. Tak ada yang bisa berdiri sendiri dalam kehidupan ini kecuali Tuhan yang menciptakan semuanya. Manusia membutuhkan mahluk lainnya. Butuh cinta. Dan ketika mereka cinta pada sesuatu mereka pasti akan takut kehilangannya. Apakah ada seseorang yang hidup tanpa cinta? Adakah seseorang mecintai tanpa rasa takut kehilangan? adakah orang yang tak butuh cinta?
“Seperti halnya aku dan ‘dia’ dia.. seseorang yang membuatku lebih kuat, sempurna, dan menjadi seperti sekarang. Aku bisa apa? Aku terlanjur menyukainya, editorku.”
“Lagi-lagi penulis seperti ini yang ku dapat.. membuat otak berputar-putar tentang cinta, cinta, cinta, dan bla-bla-bla.” rutuk Junghan seraya hendak memasukkan novel berjudul, “I Love U Editor.” ke dalam tasnya. Matanya terbelalak. Ia melihat nama sang penulis yang tercantum di sudut kanan atas novel itu. “Oh…” dia tersenyum miring seraya menatap ke luar jendela pesawat.
Junghan berjalan ke luar bandara dengan novel berwarna merah muda dengan corak biru langit itu. Ia tersenyum melihat seorang wanita yang berdiri membelakanginya dengan rambut terurai dengan indahnya. “Huh!” Junghan mendengus geli, “sudah ku duga novelisku kali ini adalah seorang wanita yang baru dewasa.” rutuk Junghan seraya menyodorkan novel itu ke arah wanita yang menoleh dengan senyum sumringah.
“Halo?! Oppa?!” sapa Hyeri riang.
“Hm.” Junghan pun membalas senyum lebar Hyeri dengan hangat.
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar