animasi-bergerak-selamat-datang-0112

Minggu, 03 April 2016

Fiction (Make Me Happy)

Waktu akan berlalu seperti semestinya dan mimpi hanya akan menjadi bunga tidur yang tak pernah memiliki arti. Irama piano yang menggugah perasaanku mengalun indah ketika seseorang itu menekan tuts-tust piano dengan jemarinya yang lembut. Aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja sebelum ia mempersembahkan lagu untuk mengiringi tidurku. Tapi aku tak pernah bisa memaksanya untuk tetap di sisiku karena dia hanya angan-angan. Sebuah angan-angan yang akan hilang bagai debu.
Malam semakin larut tapi aku tak bisa memejamkan mataku. Aku takut saat aku memejamkan mata dan terlelap dalam tidur, seseorang itu akan muncul lagi. Lebih baik aku menyelesaikan pekerjaanku untuk menulis laporan esai yang akan ku kumpulkan besok pagi. Tinggal sendiri dan melakukan semuanya sendiri memang berat tapi kewajiban memang menuntutku untuk tetap bertahan dengan keadaan itu. Saat menulis laporanku, entah kenapa aku membayangkan sosok gadis yang bermain piano itu lagi. Karena ia sering datang dalam khayalanku maupun mimpiku, aku memanggilnya Na Wa. Na Wa dengan lincah menyusuri tuts-tus piano hingga mengalunlah harmoni indah yang selalu terdengar saat aku membayangkannya.
Aku mengenyahkan khayalanku tapi Na Wa tidak ingin pergi dan ia tetap memainkan lagunya. Aku mengerang frustasi karena selalu terjebak dalam khayalanku sendiri seperti orang bodoh. Samar-samar aku mendengarnya memanggil namaku. “Chang Hee-ah,” panggilnya lirih. Aku melihatnya. Aku melihat wajah Na Wa dengan sangat jelas. Aku tidak bisa melupakan wajah itu. Wajahnya mirip dengan wajah yeojachingu-ku yang sudah meninggalkanku tanpa alasan. Aku marah, tapi di balik itu aku juga merindukannya. Meski aku berusaha melupakannya tapi otakku sudah dipenuhi olehnya. Semua tentangnya masih teringat jelas dalam memoriku.
Aku berdiri untuk mengambil buku yang sudah lama tak pernah ku buka. Saat membukanya, ada secarik foto lama yang menampakkan sosok Yeo Rin, yeojachingu-ku. Aku mengambilnya dan memandanginya dengan heran. Setahuku, aku sudah membuang semua barang yang pernah ia berikan padaku. Bahkan semua foto kenanganku dengannya sudah ku bakar tak tersisa. Merasa ada yang aneh dengan semua ini, aku memutuskan untuk pergi. Aku ingin tahu apa hubungan Yeo Rin dengan gadis dalam khayalanku itu. Apa mungkin karena aku terlalu merindukan Yeo Rin, aku jadi menciptakan refleksi bayangannya di dalam imajinasiku sendiri, yaitu Na Wa. Setelah mencari informasi ke sana ke mari akhirnya aku menyerah karena tak mendapat hasil.
Ketika aku berjalan sendirian dalam kegelapan malam, aku membayangkan Na Wa. Aku sebenarnya tidak mengerti apakah yang ada dalam khayalanku ini Na Wa atau justru Yeo Rin. Seperti adegan film yang berjalan, aku bisa melihat apa yang dilakukan oleh Na Wa. Ia mengambil sebuah buku di rak buku dan anehnya itu rak buku yang ada di rumahku. Na Wa membuka buku itu dan tiba-tiba aku mengingat kenanganku bersama Yeo Rin. Saat itu aku memeluk Yeo Rin dan kami tampak begitu bahagia. Lalu aku melihat kembali sosok Na Wa yang tersenyum dan senyumnya sangatlah manis. Aku terus berjalan dan berjalan tanpa kenal lelah. Terus seperti ini sampai aku bisa mengingat semua. Dengan bantuan Na Wa, aku akan bisa mengingat bagaimana kenanganku dengan Yeo Rin bisa terlupakan seperti ini.
Saat fajar mulai menampakkan dirinya, aku belum bisa berhenti melangkahkan kakiku menuju tempat yang sudah lama tak ku kunjungi. Melewati jembatan yang tak asing bagiku, membuatku sedikit teringat dengan kenanganku bersama Yeo Rin. Aku menghela napas lalu tetap melanjutkan jalanku. Lagi-lagi sosok Na Wa melintas di otakku. Na Wa tampak bingung dan aku juga ikut bingung dibuatnya. Lalu sosok Yeo Rin menatapku dengan sedih dan itu mengingatkanku saat ia meminta maaf karena harus pergi meninggalkanku. Aku tahu, ini petunjuk dari Na Wa agar aku bisa menemukan di mana seharusnya Yeo Rin berada. Di hatiku atau hanya di masa laluku.
Aku sampai di padang ilalang yang dulu menjadi tempat di mana Yeo Rin mengatakan kata perpisahan padaku. Di sisi lain aku melihat sosok Na Wa yang sedang melihat buku di meja kerjaku. Na Wa tertarik dan ia berjalan mendekati mejaku lalu ia duduk di kursi sambil menyentuh buku itu dengan sapuan lembut. Aku sampai di sebuah tempat yang tenang dan sepi. Pagi-pagi begini masih sepi dari aktivitas dan kesibukan warga Seoul karena itu aku leluasa melakukan semua yang aku suka tanpa harus mempedulikan komentar mereka.
“Chang Hee oppa,” panggil sebuah suara yang tak asing lagi bagiku. Itu suara Yeo Rin. Aku berbalik namun tak ada siapa pun lalu dari mana suara itu berasal?
“Oppa,” suara itu kembali terdengar. Aku menajamkan pendengaranku agar aku bisa tahu di mana suara itu berasal.
“Oppa, nan bogosipheo,” ucap suara itu dengan nada sedih.
“Yeo Rin?” tanyaku menebak.
“Aniya oppa,” jawab suara itu seolah bisa mendengar suaraku. Sepertinya ia mengajakku untuk berkomunikasi. Meski aku merasa ini aneh tapi aku ingin tahu seberapa jauh aku bisa berbicara dengannya.
“Lalu kau siapa?” tanyaku.
“Aku Na Wa.. oppa, apa kau bisa mendengarku?” tanyanya dengan nada lirih.
“Ya, aku bisa mendengarmu.. Na Wa,”
“Oppa.. dorawa,” pintanya dengan nada pelan. Aku mengerutkan kening bingung. Aku harus kembali ke mana?
“Apa maksudmu?” tanyaku padanya.
“Jangan pergi ke sana oppa, jangan ingat tentang Yeo Rin,” ujarnya melarangku. Bukannya menjawab Na Wa justru melarangku untuk mengingat Yeo Rin.
“Wae?” tanyaku tak mengerti.
“Oppa,” suaranya semakin melemah.
“Na Wa, wae geurae?”
“Oppa,” panggilnya lagi. Suaranya hampir tak terdengar olehku.
“Na Wa, kau masih bisa mendengarku kan?” tanyaku panik.
“Chang Hee oppa, saranghae,” ujarnya sebelum suaranya menghilang.
“Na Wa.. Na Wa,” panggilku cemas.
Aku mencarinya di mana pun tapi aku tak bisa menemukannya. Sepertinya aku mulai gila. Aku tidak sadar bahwa aku hanya berhalusinasi, aku hanya berkhayal tentang Yeo Rin. Sedikit demi sedikit aku mulai kehilangan akal sehat karena terlalu merindukannya. Tiba-tiba terbesit keinginan untuk melihat kembali foto yang aku temukan tadi. Ketika aku mengeluarkan foto itu dari saku jaketku, ada yang aneh. Foto itu berubah menjadi fotoku bersama Yeo Rin. Aku menjatuhkannya karena terkejut. Lalu angin menerbangkannya menjauh.
Aku mengejarnya sampai aku tiba di sebuah tempat yang gersang. Foto itu terjatuh dan aku memungutnya. Kini foto itu kembali seperti semula, menampakkan foto Yeo Rin yang sendirian. Saat akan berbalik, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Itu suara Na Wa dan aku melihatnya sedang berdiri cukup jauh dariku. Aku tak bisa menahan keterkejutanku saat melihat sosoknya yang sama persis dengan foto di tanganku. Style rambut, baju yang dipakainya, tatapannya, sama persis dengan foto itu.
“Oppa.. pergilah,”
“Na Wa,” panggilku. Ia menggeleng dan menatapku dengan sedih.
“Na Wa, ada apa?” tanyaku sambil mendekatinya.
“Oppa berhenti,” serunya melarangku. Langkahku langsung terhenti. Aku menatapnya dengan seksama.
“Jangan mendekat oppa, aku tidak ingin menghilang dari khayalanmu,”
“Na Wa, apa maksudmu?” tanyaku padanya. Ku lihat ia menahan tangisannya. Aku ingin mendekatinya untuk menghapus air mata itu dari pipinya. Kini, aku melangkah lagi untuk mendekatinya. “Oppa berhenti,”
“Na Wa-ya aku tidak bisa berhenti, aku ingin mendekatimu,” Na Wa menggeleng cepat tapi aku memang tidak bisa berhenti. Aku seperti terdorong untuk mendekatinya.
“OPPA BERHENTI,” teriaknya saat jarakku dengannya hanya terpaut beberapa meter.
“Na Wa, aku benar-benar tidak bisa berhenti,” ucapku jujur.
“Hajima.. hajima.. hajima,” gumamnya disertai isakan tangis yang memilukan. Tidak! Aku tidak ingin mendengarnya lagi. “Na Wa, mianhae,” ujarku merasa bersalah dan aku berhenti tepat 1 meter di depannya.
Tanganku menggapai untuk menyentuhnya tapi aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Aku hanya bisa memandangnya dengan sedih begitu pun Na Wa yang menatapku dengan berurai air mata. “Chang Hee oppa,” panggilnya sedih. Air matanya meluncur jatuh dengan mudahnya.
“Na Wa-ya, uljima,” ucapku berharap agar ia bisa berhenti menangis. Na Wa memejamkan mata dan secara tiba-tiba kabut mengelilingi kami. Membuatku tidak bisa melihat Na Wa dengan jelas. Aku sedikit memicingkan mata agar aku bisa melihat sosok Na Wa.
“Oppa, selamat tinggal,” ujar Na Wa pelan lalu menghilang bagai debu yang diterpa angin.
“Na Wa-ya.. Na Wa-ya,” panggilku panik. Aku berlutut sambil menahan kesedihanku.
Aku menyesal tidak mendengarkan ucapannya. Aku menangis menyesali kebodohanku. Di sela-sela tangisanku, aku mengingat sosok Yeo Rin yang dengan manja memejamkan matanya. Yeo Rin tersenyum sambil mengerucutkan bibirnya. Lalu saat dimana aku mengajarinya bermain piano dan membuatnya berhasil menguasai 1 lagu yang sangat disukainya. Ia tertawa senang dan berterima kasih padaku. “Chang Hee-ah, bolehkah aku bersandar di pundakmu?” tanya Yeo Rin malu-malu. “Eum, tentu saja,” ucapku membalasnya. Yeo Rin bersandar di pundakku lalu aku merangkul pundaknya agar lebih dekat denganku.
Aku mengingatnya dengan jelas dan entah kenapa tubuhku mulai terasa ringan. Aku menjadi debu dan pergi diterbangkan angin, seperti yang terjadi pada Na Wa tadi. Dering ponselku membangunkanku yang tengah tertidur di meja. Sepertinya aku ketiduran lagi saat mengerjakan laporan esai-ku. Aku menerima telepon dari Gi Tae hyung yang mengajakku untuk pergi bersama ke kampus. Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Sudah waktunya untuk bersiap pergi. Setelah mengakhiri telepon, aku mengambil jaketku yang tersampir di punggung kursi. Aku pun merapikan laporan esai-ku untuk ku masukkan ke dalam tas. Tanpa sengaja aku melihat sebuah buku asing ada di mejaku. Aku mengambilnya dan membolak-balikkan buku itu dengan bingung.
Tiba-tiba lintasan ingatan muncul dan menampakkan sosok Na Wa yang menutup buku di tanganku dengan sedih. Na Wa berdiri dari duduknya dan meneguhkan hatinya untuk pergi. Saat ia sudah berjalan pergi, tiba-tiba langkahnya terhenti. Na Wa kembali ke meja kerjaku lalu membuka buku itu kembali. Ia menuliskan sesuatu di bagian belakang buku itu lalu menutupnya. Na Wa kembali berdiri dan saat itu ia benar-benar akan pergi. Ingatan ini membawaku untuk mengetahui apa yang dituliskan Na Wa untukku. Ketika aku membuka bagian belakang buku ini, aku menemukan tulisan Na Wa. Sepertinya ia memberitahuku bahwa ia senang bisa berada di dalam khayalanku.
“Sekarang ini, aku juga sangat bahagia. Memikirkan bagaimana alasan oppa untuk mencintai Yeo Rin. Semoga oppa tetap menyimpannya untukku, sampai kapan pun,”
Aku tersenyum lalu menambahkan tulisannya dengan isi hatiku. Aku menulis perasaanku yang khusus untuk Na Wa.
“Aku bahagia, kita bahagia bersama. Mulai dari sekarang aku akan menghadapi masa depan dengan senyuman bahagia,”
Segera setelah itu aku pergi tanpa membawa buku itu. Aku menaruhnya di meja dan berharap Na Wa membacanya. Aku pun pergi ke luar untuk menghampiri Gi Tae hyung yang sudah menungguku di depan rumah. Aku tersenyum ke arahnya. Ia tampak terkejut melihatku yang tersenyum tanpa beban.
“Apa ada yang salah hyung?”
“Kau baik-baik saja kan Chang Hee? Kau belum gila kan?” tanya Gi Tae hyung sambil menyentuh keningku, memeriksanya apa aku demam.
“Hyung, lepaskan,” seruku sambil menurunkan tangannya dari keningku. Gi Tae hyung memandangku lekat-lekat.
“Hyung, jangan memandangiku seperti itu.. aku baik-baik saja,” gerutuku kesal. Aku masuk ke mobil Gi Tae hyung lalu Gi Tae hyung juga masuk ke mobilnya dan duduk di kursi kemudi. Gi Tae hyung terus saja memandangiku dengan heran.
“Chang Hee-ah, apa kita perlu ke dokter?”
“Tidak perlu hyung, aku kan sudah bilang baik-baik saja,” ucapku menenangkannya.
“Baiklah,” ujarnya mengerti. Gi Tae hyung pun menjalankan mobilnya. Belum pernah aku merasa seringan ini setelah lama menutup diri dari kehidupan sosialku. Untung saja aku masih punya Gi Tae hyung yang selalu peduli padaku dan juga Na Wa, gadis khayalan yang selalu muncul dan menemaniku saat aku merasa kesepian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar