animasi-bergerak-selamat-datang-0112

Minggu, 03 April 2016

Cerpen Korea 

 A Liar, A Fool, And A Ring

“Kenapa kemarin kau tak datang? Kau bahkan tak menjawab telepon atau membalas pesan singkatku. Kau tahu? Hampir seharian aku menunggumu di sini kemarin.”
Itulah segerombolan ucapan yang dilontarkan Sungmin ketika aku baru saja tiba di sebuah taman tempat kami berjanji bertemu kemarin. Sungmin memandang sebal ke arahku yang duduk di sisi kolam air mancur dan hanya memandangi air yang memenuhi kolam berbentuk lingkaran tersebut tanpa bergeming untuk merespon ucapannya barusan.
“Jae?” panggilnya. Laki-laki itu kemudian ikut duduk di sebelahku. “Gwaenchana? (Kau baik-baik saja?)”
“Jauhi aku!”
Sungmin tersenyum kecut. “Apa yang sedang kau bicarakan, eoh?”
“Bukan hal semacam ini yang ku harapkan,” ucapku pelan tanpa berani menoleh ke arah Sungmin yang berada di sebelah kiriku.
“Pergi dan tak pernah bertemu lagi denganku seumur hidup? Itu, kan yang kau harapkan?”
“Jika kau tahu apa yang ku inginkan, kenapa kau masih mencariku?”
“Aku tak pernah mencarimu, karena aku tahu jika takdir akhirnya akan selalu mempertemukan kita.”
“Ck.. Percuma saja. Kita bertemu pun, aku sudah tak memiliki perasaan lebih padamu seperti dulu.” Aku berkata dengan nada dingin, yang dibalas Sungmin sinis.
“Pembohong.”
“Kau tahu aku tidak pernah main-main dengan perkataanku.”
Secara tiba-tiba Sungmin memegangi pergelangan tangan kiriku yang membuatku terkejut. Tatapan tajamnya menghujam tepat ke dalam bola mataku.
“Lalu apa maksudnya dengan ini, Shin Jae Kyung? Jika benar kau sudah tak mencintaiku lagi, kenapa kau masih memakainya? Apa kau lupa? Ini adalah cincin pertunangan kita, bukan?”
Aku terperanjat atas ucapan Sungmin. Apalagi dia dengan sengaja memberi penekanan pada setiap kalimat yang dilontarkannya. Lidahku seketika kelu, tak tahu harus mengatakan apa. Mataku menatap kosong pada jari tangan kiri yang diangkat Sungmin. Dia ingin aku melihat apa yang ada di sana. Sebuah benda berbentuk lingkaran yang menghiasi jari manis tangan kiriku. Benda yang tak pernah ku lepaskan sejak pertama kali tersemat di sana dua tahun lalu. Pandanganku beralih ke arah Sungmin. Matanya menatap lekat ke arahku. Ada luka di sana, di balik mata foxy-nya. Aku pun tak bisa menutupi fakta, jika diriku sendiri pun merasakan luka yang sama. Dan aku yakin laki-laki itu tahu meski ku tutupi dengan sedemikian rupa. Aku harus segera sadar. Tak boleh terlalu lama hanyut dalam situasi semacam ini atau pertahanan yang ku bangun dengan susah payah akan hancur hanya karena menatap mata laki-laki bermarga Lee itu.
“Kau meragukan ucapanku?” tanyaku sinis, memecahkan keheningan di antara kami.
“Kau payah dalam hal membohongiku.” Suara Sungmin terdengar bergetar.
“Kalau begitu akan ku buktikan persepsimu terhadapku tentang hal itu adalah salah, Ming.”
Ku hempaskan tangan Sungmin yang masih bertahan memegangi pergelangan tangan kiriku. Tanpa banyak bicara bahkan dengan sikap dingin, ku lepaskan cincin yang terbuat dari titanium tersebut. Dan sekali lagi tanpa berpikir apa pun, aku melemparkan cincin itu. Aku yakin benda yang tak memiliki batas pada setiap sisinya itu telah berhasil menyentuh dasar kolam beberapa saat setelah aku melemparkannya. Aku menoleh ke samping. Tampak Sungmin dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan menatap lurus ke arah kolam yang tetap tenang, tak terganggu dengan suasana dingin bercampur ketegangan yang melingkupi kami berdua.
Kali ini giliran laki-laki itu yang diam membeku. Sungmin tak mengucapkan sepatah kata pun meski hanya untuk sekedar mencaci jika aku adalah wanita bodoh, jika aku akan menyesali apa yang ku perbuat sekarang. Tapi aku tak peduli, tak ingin peduli. Aku hanya harus pergi, dari hidupnya. Aku bangkit berdiri, membelakangi kolam. Sementara Sungmin masih belum mau bergeming di atas kursi yang didudukinya. Ku masukkan kedua tangan ke dalam saku sweater yang ku kenakan, mencoba bersikap acuh selain karena udara malam memang berhembus sangat dingin. Sedingin suasana yang tak akan menjadi hangat di antara kami.
“Sekarang kau percaya? Kau sudah melihat dengan matamu sendiri tadi, bukan? Aku melepaskannya seperti aku yang akan melepaskanmu. Lebih baik kau pulang sekarang dan coba mulai menerima kenyataan jika aku tak menginginkan dirimu di sisiku lagi. Selamat malam.” Satu langkah, dua langkah. Perlahan aku mulai meninggalkan Sungmin. Terbesit di dalam hati berharap Sungmin akan menghentikan langkah kakiku yang terasa tak menginjak permukaan bumi ini. Dia memeluk tubuhku dari belakang seraya mengucapkan jika dia tak ingin aku pergi, dia tak bisa hidup tanpa diriku. Mustahil. Itu tak akan pernah terjadi karena perbuatanku sendiri.
“Dengan tersematnya cincin ini, maka mulai sekarang statusmu berubah dari yeojachingu (kekasih) menjadi calon istri tuan muda Lee Sungmin.” Sekilas kenangan tentang cincin itu datang memenuhi pikiran. Masih lekat dalam pikiran kenangan indah dua tahun lalu. Sungmin memberikan cincin itu di balkon rumahku, yang dia bilang sedang melamarku kala itu. Dia mengatakan dengan percaya dirinya yang justru berbuah cibiran dariku. Tapi jujur, itu adalah momen yang membahagiakan sekaligus mengharukan bagiku. Aku tidak pernah menyangka Sungmin akan seserius ini dalam hubungan kami.
“Maukah kau berjanji padaku tentang satu hal? Bahwa apa pun yang terjadi, kita akan selalu saling mencintai satu sama lain?” Itu pun masih dengan jelas teringat. Semua kenangan bersamanya kini mulai berputar-putar dalam benakku. Membuatku sulit berpikir dan semakin berat untuk melangkahkan kaki. Tanpa sadar pandanganku mulai mengabur.
“Kenapa kau begitu memperhatikanku?”
“Karena kau adalah yeojachingu-ku.”
“Kenapa kau mau menjadikanku sebagai yeojachingu-mu?”
“Karena aku mencintaimu.”
“Kenapa kau bisa mencintaiku?”
“Aku tidak tahu. Tak ada alasan untuk itu, Jae.”
Aku menutup mulut dan berhenti berjalan. Mencoba menahan isakan yang memaksa ke luar dan hendak berubah menjadi teriakan penuh luka. Hatiku perih, sangat. Dadaku teramat sesak hingga aku sulit untuk bernapas. Apa sesakit ini? Apa harus rasanya semenyakitkan ini meninggalkan seseorang yang sebenarnya tak ingin untuk kita tinggalkan? Ya. Sungmin benar. Aku memang berbohong. Semua yang ku katakan adalah dusta. Tapi aku tak bisa melakukan hal lain selain ini. Situasi dan keadaan yang memaksaku menggores luka di hati laki-laki yang sangat ku cintai. Udara malam yang dingin merasuk ke dalam rongga pernapasan. Sedikit bisa menetralkan rasa sesak yang serasa mencekik. Sebutir air mata perlahan meluncur dari pelupuk mata yang dengan cepat ku hapus sebelum ada yang melihat, meski aku yakin jika hanya ada aku saja di tempat ini tengah malam begini. Dan juga Sungmin, entah dia sudah pergi atau belum.
Aku mulai mengumpulkan tenaga kembali untuk segera pergi dari area taman ini. Namun baru satu kali melangkah, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seperti sesuatu jatuh ke dalam air kolam. Egoku mencoba untuk tak peduli. Tapi sesuatu dalam diri menahan kaki untuk melangkah lebih jauh. Malah meminta berbalik untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana. Air kolam yang disinari oleh lampu-lampu di sekelilingnya tampak tenang. Ditambah suasana sekitar yang hening membuatku sedikit merasa takut. ‘Suara apa tadi?’ tanyaku dalam hati. Apa yang terjatuh ke dalam sana? Dari suaranya terdengar cukup keras, seperti benda berbobot.
Tidak ada?
Ketika kembali pada tempat tadi, aku tak menemukan sosok Sungmin lagi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling mencoba mencari laki-laki itu. Nihil, tak ada tanda-tanda keberadaannya. Apa dia sudah pergi dari sini dengan melewati jalan lain? Aku hendak pergi ketika mataku tanpa sengaja menangkap benda yang menarik perhatian di atas kursi kayu yang ku duduki bersama Sungmin tadi. Aku mendekat, meraih benda itu dengan hati-hati sekaligus berdebar. Sebuah mantel? Aku kenal benar wangi parfum yang menempel pada mantel cokelat ini. Mungkinkah ini…? Dan jika tak salah dia menggunakan mantel cokelat saat kami bertemu beberapa saat lalu. Aku memang tak banyak memperhatikan pakaian apa yang dia kenakan, tapi aku bisa memastikan dia mengenakan mantel ini ke mari.
Aku dikejutkan oleh sebuah nada dering ponsel yang terdengar dari dalam salah satu saku mantel. Ku rogoh saku sebelah kanan dan mendapatkan apa yang ku cari. Nama ‘Kyunnie’ tertera di layar ponsel sebagai pemanggil telepon. Tapi aku tak kunjung menjawabnya karena hatiku tiba-tiba terasa kacau. Hingga akhirnya orang itu mengakhiri panggilannya. Keterkejutan belum hilang. Begitu panggilan diakhiri, wallpaper di ponsel muncul. Menampakkan sebuah foto seorang wanita tengah berpose sambil melakukan v-sign dengan tangan kanannya dan berlatar pantai di belakangnya. Itu aku. Sungmin mengambil gambar itu saat kami berlibur ke pantai Gwanghwali hampir setahun yang lalu.
Kenapa benda-benda ini ada di sini? Apa Sungmin meninggalkannya? Tidak mungkin. Udara terlalu dingin malam ini. Keanehan kembali muncul saat aku juga menemukan sepasang sepatu di bawah kaki kursi. Perasaan tak enak menyelimuti hati mendapati barang-barang milik Sungmin ini. Dia pasti masih berada di sini. Tapi untuk apa sampai meninggalkan barang-barangnya? Aku teringat pada suara seperti sesuatu terjatuh ke dalam kolam yang tadi sempat terdengar. Kepalaku dengan cepat menoleh ke arah kolam. Mungkinkah Sungmin? Tiba-tiba beberapa gelembung kecil muncul di permukaan air kolam dan tertangkap indera penglihatanku. Aku mendekat ke sisi kolam. Gelembung itu masih muncul dan ketenangan air kolam terpecahkan karena tampak ada pergerakan-pergerakan kecil di dalam sana.
“Ming, apa itu kau?” teriakku gelisah. Tak ada jawaban.
“Ming, jika itu adalah kau, maka cepatlah naik ke atas,” perintahku dengan volume meninggi. Masih tak ada jawaban. Apa di dalam sana memang bukan Sungmin? Tapi entah mengapa hati kecilku mengatakan jika itu adalah dia.
“Yak! Lee Sungmin! Jawab aku!”
Hening. Gelembung-gelembung tadi perlahan menghilang. Air pun kembali menjadi tenang. Namun justru kegelisahanku semakin menjadi. Otakku mulai tak bisa bekerja dengan baik sekarang. Pikiranku benar-benar kalut dan aku tak tahu harus meminta bantuan siapa. Yang ku tahu, air kolam di taman ini permukaan dasarnya sengaja dibuat dalam dari kolam-kolam taman lain yang dibangun di daerah Gwangju. Kedalamannya bisa mencapai 5-6 meter. Jika saja tak sedalam itu mungkin aku akan menyelam untuk memastikan apa Sungmin ada di sana atau tidak. Tak peduli aku akan berubah menjadi bongkahan es ketika kembali ke permukaan.
“Sungmin-ah, jangan membuatku takut,” lirihku disertai isakan.
Entah sejak kapan air mata turun dengan bebas hingga membasahi kedua pipi. Mendapati barang-barang kepemilikan laki-laki itu di sini, membuatku semakin takut. Memaksaku untuk mempercayai Sungmin berada di dalam sana dan aku tak bisa berbuat apa pun selain menangis. Tangisanku menjadi ketika pikiran menduga kenapa dia melakukan ini. Mungkinkah dia mencoba mengakhiri hidup setelah aku memutuskan hubungan kami seperti ini? Mengingat itu saja membuatku semakin dihantui rasa bersalah.
“Jawab aku!” Dan kini aku seperti orang gila. Berteriak-teriak sendiri, di sisi sebuah kolam sepi, di tengah malam.
“Jawab aku atau ku panggil polisi ke mari sekarang juga, Lee Sungmin!”
Hening.
“Benar-benar lelucon bodoh. Ini sama sekali tak lucu. Kau kira dengan cara seperti ini aku akan kembali padamu? Justru aku akan semakin membencimu!”
Hening.
“Keluar bodoh!”
Tetap hening. Tak ingin cepat berputus asa, aku merogoh ponsel di dalam saku sweater. Astaga, aku baru ingat. Aku meninggalkannya di rumah karena sedang mengisi baterainya yang habis. Kesialan rupanya tengah ingin bermain-main saat ini. Ponsel Sungmin yang satu-satunya menjadi harapan untuk memintai bantuan siapa pun juga tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. Kakiku melemas dan aku sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Aku duduk tak bertenaga sambil memeluk kedua lutut yang ditekuk. Ku benamkan kepalaku di sana. Tangisanku kembali terdengar, bahkan lebih mengencang.
“Maafkan aku, Ming.”
Aku mulai merutuki diri sendiri atas apa yang terjadi. Aku begitu menyesal sekarang atas perbuatanku pada Sungmin tadi. Sudah ku katakan aku tak pernah bermaksud untuk mengecewakannya. Aku juga tak ingin melakukan ini. Andai dunia berpihak padaku saat ini, yang ku inginkan hanyalah bersama laki-laki itu. Samar-samar terdengar sebuah suara dari arah kolam. Aku menajamkan pendengaran dan suara itu semakin jelas terdengar. Suara orang terbatuk? Dengan hati berdebar, perlahan ku angkat kepala. Tampak seseorang tengah berenang-renang dengan gerakan lemah dari tengah air kolam menuju sisi kolam terdekat. Beberapa kali orang itu berusaha keluar dari dinginnya air kolam secepatnya. Tapi karena keadaan tubuhnya tampak begitu lemah, dia selalu gagal. Tubuhnya menggigil dan tak hentinya terbatuk. Mungkin karena terlalu banyak air yang masuk ke dalam kerongkongannya.
“Ming-ah!”
Aku segera berlari ke arah Sungmin yang berada tak jauh dari tempatku sekarang. Ku julurkan kedua tangan guna membantunya naik, keluar dari air secepat yang ku bisa sebelum tubuhnya yang basah total itu menjadi beku karena suhu air dan udara yang begitu sangat dingin. Tubuh Sungmin tak bertenaga sama sekali ketika berhasil ku angkat kembali ke permukaan. Napasnya masih terdengar memburu dan mata foxy-nya sesekali terpejam. Sungmin menghirup udara dengan begitu rakus sementara aku membantu menepuk-nepuk pundaknya agar batuknya segera berhenti dan air yang masuk ke dalam tubuhnya bisa ke luar.
“Apa yang kau lakukan, Bodoh?” tanyaku dengan nada menghardik pada laki-laki yang tengah berbaring lemah dan meletakkan kepalanya di atas pahaku. Dia tersenyum lemah.
“Ini,” ucap Sungmin pelan. Dia membuka telapak tangan kanan yang sedari tadi dikepalnya.
Aku menatap Sungmin tak percaya. “Kau?”
“Jangan menjatuhkannya sembarangan lagi! Apalagi jika aku tahu kau menghilangkannya, tamatlah riwayatmu. Dan aku tak bercanda.”
“Apa kau sudah benar-benar bodoh, hah? Kau rela menyelam pada air yang bisa merubahmu menjadi bongkahan es? Apa yang kau pikirkan sebenarnya?” Aku tak kuasa menahan lebih lama lagi kekesalan atas kebodohan yang baru saja dilakukan laki-laki ini.
“Hey. Kau lupa, Shin Jae Kyung? Cincin ini ku beli di Amerika dan aku sendiri yang merancangnya. Kau juga tahu jika harganya sangat mahal, bukan? Dan aku juga sudah mengatakan bahwa cincin titanium ini adalah cincin pertunangan kita. Jadi kau harus menjaganya baik-baik.”
“Lee Sungmin! Tidakkah kau berpikir bahwa tindakan bodoh tadi bisa membahayakan bahkan merenggut nyawamu sendiri, hah?”
“Aku tak bisa berpikir sehat jika itu menyangkut tentang dirimu, Jae. Meski harus kehilangan nyawa sekali pun aku tak peduli, asalkan jangan kau yang meninggalkanku.”
Napasku kembali tercekat. Kerongkonganku terasa sangat sakit karena sudah terlalu lama menahan air mata yang siap meluncur. Menambah sembab mata yang juga sudah membesar sedari tadi. “Dari dalam air, aku bisa mendengar suaramu yang sangat mencemaskanku. Kau takut kehilanganku, bukan?”
“…”
“Kau bahkan menangis untukku.”
“Aku tidak menangis.”
“Tidak usah mengelak,” ucap Sungmin, tersenyum sembari mengusap linangan air mata yang tak bisa lagi ku tahan. Jemarinya begitu dingin, tapi senyumnya terasa hangat.
“Ambillah,” pinta Sungmin halus.
Aku menggeleng. “Aku tidak bisa.”
Sungmin meraih tangan kiriku. Menaruh cincin berbahan titanium itu di telapak tangan lalu mengenggamnya.
“Selamanya adalah milikmu.”
“Kenapa kau keras kepala sekali, Ming? Sudah ku katakan jika….”
“Antarkan aku pulang.”
“Apa?”
“Aku kedinginan. Aku bisa jatuh sakit jika terlalu lama lagi di sini.”
“Kau bisa pulang sendiri.”
“Kau tega melihatku menyetir dalam keadaan seperti ini? Jika terjadi sesuatu padaku, kaulah orang pertama yang harus bertanggungjawab.”
“Kau mengancamku?”
“Siapa?”
“Ck~ Berani sekali kau berbuat semacam ini padaku di saat kita sudah tak memiliki hubungan apa pun sekarang.”
“Kunci mobilnya ada di saku mantel sebelah kiri.”
“Kau!”
“Palli (Cepat)! Hatchim~ Uhuk uhuk~”
Dengan perasaan kesal bercampur khawatir serta tentu saja penuh rasa bersalah, aku akhirnya menuntun Sungmin yang berjalan tertatih. Sebenarnya aku sudah akan mengomelinya lagi karena ia memarkirkan mobilnya di luar area taman hingga cukup menguras energi untuk sampai di sana. “Gomawo (Terima kasih),” ucap Sungmin saat aku mendudukkan tubuhnya yang dibalut pakaian basah di kursi sebelah kemudi. Aku tak bergeming dan lebih fokus memakaikan sabuk pengaman untuknya. Sungmin sudah membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu lagi. Namun dia mengurungkan niat karena aku segera berbalik, menghindari kontak mata dengannya dalam jarak dekat. Aku berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil. Duduk di belakang kemudi dan melaju menuju daerah Gangnam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar